Tampilkan postingan dengan label Journal Review. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Journal Review. Tampilkan semua postingan

Jumat, 13 Juli 2012

Data Envelopment Analysis

Hi all, di cafe kali ini mungkin enak ya kalau kita bahas satu analisis yang bisa digunakan untuk memecahkan permasalahan yang datanya menggunakan pengukuran skala likert. Salah satu analisis yang sekarang lagi populer adalah Data Envelopment Analysis [DEA].

Beberapa sumber mengatakan bahwa DEA sebenarnya termasuk ke dalam analisis multivariat. Tetapi di buku-buku lainnya, mengatakan bahwa DEA sebenarnya hanya sebuah pengembangan dari linear programming. Well, dua-duanya benar :)
DEA adalah sebuah metoda pengembangan berdasarkan prinsip linear programming, yaitu metoda pemecahan masalah yang dibentuk kedalam sebuah model matematika tujuan, dimana dibatasi oleh beberapa konstrain. Atau bahasa lainnya sebuah permasalahan dengan batasan-batasan masalah yang lain (gimana bingung gak? :D). Pernah tahu mata kuliah aljabar linear atau teknik kuantitatif atau operasional riset? Ya intinya adalah itu semua, yang kemudian dikembangkan atau disesuaikan pada permasalahan yang lebih kompleks, misalnya pada variabel yang memiliki sifat multivariat. Artinya permasalahan tersebut harus diukur oleh beberapa variabel lainnya. Hanya saja, tidak seperti SEM atau analisis mulitvariat yang lainnya, metoda DEA dikhususkan kepada pencarian nilai efisiensi.

nilai efisiensi = (nilai ouput/input)

Dimana nilai efisiensi tersebut dibentuk kedalam sebuah model matematis tertentu sesuai dengan permasalhannya. Demikian pula nilai output dan nilai inputnya, merupakan model matematis yang biasanya terbentuk atas DMU (Decesion Making Unit) tertentu. Lalu bagaimana caranya menggunakan DEA? Tenang saja, ada software khusus yang dapat menyelesaikan masalah DEA, bahkan jika variabelnya tidak terlalu banyak perhitungan DEA dapat menggunakan Excel saja. Karena pada prinsipnya adalah linear programming solver. :)

Masih bingung? Oke, saya coba bahas dengan mereview sebuah jurnal menarik mengenai aplikasi DEA. Judul jurnalnya adalah "Measuring the efficiency of customer satisfaction and loyalty for mobile phone brands with DEA", ditulis oleh Erkan Bayraktar, 2012.

Bayraktar meneliti tingkat loyalitas dan kepuasan pelanggan terhadap beberapa merek telepon seluler. Langkah penelitiannya adalah sebagai berikut:
1. Membuat model antara input dan ouput permasalahan yang diteliti.


2. Mendaftarkan faktor/elemen-elemen yang termasuk kedalam setiap bagian faktor input dan output.

3. Membentuk model matematis dari model awal

4. Mengambil data, dengan cara menggunakan kuisioner dan pengukuran skala likert dan teknik survei standar.
5. Mengolah data menggunakan Lingo/Excel/DEA Solver atau lainnya
6. Melakukan analisis lanjutan seperti ranking kurskal wallis atau semacamnya (analisis lanjutan ini tidak harus dilakukan, biasanya dilakukan jika peneliti ingin mengetahui lebih lanjut kelayakan ranking dari pengaruh dari setiap faktor dengan menggunakan tes ranking apakah benar terdapat perbedaan ranking pada model).
7. Mengambil kesimpulan


Conclusion
These findings are also confirmed by the efficiency scores where Motorola and Nokia were ranked as the least efficient brands, respectively, as shown in Table 3. These findings might also be construed as such that the users of both brands tend to have some conflicting perceptions regarding their own mobile phones relative to the other brands. This study has important implications for practice. Without a doubt, the competition for greater market share is intensifying within the mobile phone industry in Turkey. A more focused approach to building up a novel competitive edge is vital for success (or mere survival) in this volatile market.


Gimana? Mau coba DEA untuk Tugas Akhir atau penelitian kelembagaan atau untuk riset client? kenapa tidak? ^_^...

sumber:
Bayraktar, Erkan. 2012. Measuring the efficiency of customer satisfaction and loyalty for mobile phone brands with DEA. Elsevier.

Cooper, William.  2000. Data Envelopment Analysis. London.



Selasa, 21 Februari 2012

Menentukan Rentang Skala Likert

Sebetulnya, skala likert sudah pernah dibahas, tetapi kali ini saya coba bahas dari sisi lain dan mungkin dengan bahasa yang lebih sederhana. Beberapa hari terakhir, saya bergelut dengan skala likert. Semakin membaca beberapa metoda dan jurnal mengenai skala likert, semakin saya bertanya-tanya, bagaimanakah saya menentukan rentang skala likert yang sesuai dengan penelitian yang saya lakukan? Dari beberapa jurnal yang saya baca, kemudian saya dapat simpulkan sebagai berikut.

Pada dasarnya skala likert hanyalah sebuah alat. Diibaratkan seperti sebuah penggaris. Ketika kita ingin mengukur panjang sebuah meja kecil kita bisa menggunakan penggaris biasa, tetapi ketika kita ingin mengukur panjang jalanan, maka kita harus menggunakan meteran yang lebih panjang.

Untuk itu, pertama-tama kenali penelitian yang kita lakukan. Apakah penelitian tersebut mengukur preference atau mengukur kinerja? Seberapa detailkan pengukuran yang kita inginkan. Satu hal yang perlu diperhatikan, rentang skala likert harus memiliki nilai yang tepat kebalikan dengan nilai yang lain. Lebih mudahnya perhatikan contoh penelitian berikut:

1. Setuju vs Tidak Setuju
Ingin diketahui apakah masyarakat setuju akan suatu pernyataan. Contoh peryataannya adalah 'Pelebaran sungai diperlukan untuk mengatasi banjir'. Maka akan muncul kemunginkan pilihan sebagai berikut

a-  sangat tidak setuju     agak tidak setuju    agak setuju    sangat setuju
b- sangat tidak setuju     tidak setuju     ragu2        setuju        sangat setuju
c- sangat tdk setuju    tdk setuju     agak tdk setuju      agak setuju    setuju    sangat setuju

Dan seterusnya, kita bisa membuatnya menjadi 4, 5, 6, atau bahkan 7 pilihan. Tetapi mana yang terbaik? Yang terbaik adalah yang memiliki rentang paling banyak. Dengan kondisi setiap arti dari skala tersebut memiliki arti yang saling bertolak belakang dengan skala yang lain. Misalnya setuju vs tidak setuju, sangat tidak setuju vs sangat setuju, dst. Mengapa? Hal ini menghindari pilihan netral (ragu-ragu), kecuali jika anda ingin mengetahui apakah ada pihak netral. Misalkan untuk peryataan seperti berikut 'Pak Abdul layak menjadi Presiden 2014'.

2. Bagus vs Tidak Bagus
Ingin diketahui penilaian masyarakat tetang sebuah pernyataan atau kondisi. Misalkan mengenai pelayanan imigrasi. Contoh pernyataannya adalah 'Bagaimanakah pelayanan kantor imigrasi menurut anda?' Dengan demikian sudah tentu kita tidak menginginkan pilihan ragu-ragu atau netral atau nilai yang tidak memiliki pembanding, artinya sebaiknya kita menggunakan rentang skala berjumlah genap. Bisa 4, 6, atau 10 pilihan. Namun untuk penilaian semacam ini, yang lazim dikenal di masyarakat adalah nilai 1 sampai 10. Kesimpulannya untuk jenis skala semacam ini, sebaiknya gunakan rentang skala 10.

tidak bagus - 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 -bagus

3. Jangan keliru dengan frekuensi
Terkadang kita menggunakan skala frekuensi sebagai skala likert. Seperti pada pertanyaan berikut, 'Berapa sering anda ke perpustakaan?'

- tidak pernah,         Jarang,         kadang-kadang,        sering,        sangat sering

Jadi intinya, penentuan rentang skala likert adalah tergantung dari penelitian yang kita lakukan. Tidak ada dasar atau harga mati mengenai aturan penentuan rentang tersebut. Dalam praktiknya memang yang paling baik adalah rentang terbesar dan dengan jumlah genap. Dengan rentang yang besar, kita dapat melihat sebaran atau variasi dari jawaban responden. Namun kekurangannya adalah survey yang dilakukan agak sedikit lebih sulit, karena mengharuskan responden berpikir lebih keras dalam memilih pada rentang skala likert yang besar. Tetapi kembali lagi dari penelitian itu sendiri, seberapa pentingkah detail yang diinginkan dan bagaimana hasil yang ingin dicapai dari penelitian tersebut. Semoga tulisan ini membantu yah ;)

Disarikan dari:
Hall, Shane. 2010. “How to Use the Likert Scale in Statistical Analysis.”
Markusic, Mayflor. 2009. “Simplifying the Likert Scale.”
Trochim, William M.K. 2006. “Likert Scaling.” Research Methods Knowledge Based

Minggu, 01 Januari 2012

Reaction Paper: Statistical thinking and its role for industrial engineers and managers in the 21st century

Article entitled ‘Statistical thinking and its role for industrial engineers and managers in the 21st century’ written by Miltiadis Makrymichalos as a managerial audit journal is a very relevant article to the present situation. Nowadays, most of the managers do not use a statistical way of thinking in making decisions. Despite that many managers use six sigma to improve their business processes, they did not think statistically. I think the statistic is not just a tool, but it was also a basic principle about how to think logically and systematically.

The managers only use statistics as a tool when they encounter a problem which is related to data. In my opinion, the managers did not use the statistical thinking because of the difficulty in understanding the statistics principles. Furthermore, they have variety in educational backgrounds. Once they have found an issue or a problem, they will solve it according to their past experience and their knowledge. But when they did meet a problem that generates lot of numerical data, they used the statistics method.

According to the article, make decisions with statistical thinking means that the managers have to think the problem as a system as it is explained in the article that ‘All work is a system of interconnected processes'. The managers have to be able to see the variety of any situations and outcomes in any system. Therefore they will be able to analyze or even predict the upcoming situations and outcome of a problem.

For example, if we use six sigma we can solve the problem systematically. In the real situation, the managers only use six sigma or other tools as a means to repair. But they did not understand the basic principle or the essence of the six sigma method. In a research and development of the manufacturing, most of managers and engineers are focus on clients more than their own organization. Furthermore, the managers are also use the practical data to solve the problem. This way of thinking will led to an ineffective decision. The statistical thinking will first lead the managers to see the symptoms and any variation on a business process problem first. Statistical Thinking and its principles are not difficult and does not actually need to be profound. But it must be known by the managers. Therefore, when they using tools such as QFD, DOE, Six Sigma, and Pareto charts they will be able to predict where the outcome has risen.

In conclusion, I feel devastated because of many managers and engineers are ignoring the statistical thinking. But luckily, this paper summarizes the circumstances that existed at the moment. Not just as a warning, this topic can be a wakeup call to many managers that statistics is not just a daunting and meticulous method, but can be a useful way of thinking to the business in any industry.

Jumat, 02 Desember 2011

Memperkirakan kesuksesan Film Box Office: Menggunakan Neural Networks

"Apa? Membuat film harus menggunakan regresi logistik? Pusing amat?"

Tenang dulu, bukan berarti membuat film harus ngejelimet dengan angka, tetapi ternyata jika industri dimanapun baik budaya, hiburan bahkan manufaktur, peran metoda statistik bisa menjadi alat bantu yang menyenangkan ^_^.

Di negara maju, setiap aspek industrinya tidak lepas dari peran riset dan pengembangan. Data dan analisis merupakan alat penting sebagai salah satu feedback selain dari hasil keuangan (laba-rugi). Salah satunya industri hiburan, dalam hal ini adalah industri film. Kepentingan analisis digunakan sebagai mengetahui atau memetakan sebuah industri. Contohnya bisa terlihat pada jurnal yang akan saya bahas kali ini,



Judul: "Predicting box-office success of motion pictures with neural networks"
Karya: Ramesh Sharda and Dursun Delen
Tahun: 2006
Penerbit: Elsevier.com



Bagian pemetaan indsutri Amerika dan latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan sepertinya tidak perlu saya ceritakan panjang lebar, silahkan baca sendiri jurnalnya (mau jurnalnya? hub kami ^_^). Intinya penelitian ini dilakukan untuk bisa memberikan masukkan pada producer film untuk bisa mengambil keputusan terhadap bagaimana mereka bisa membuat film yang akan menghasilkan kesuksesan.

Okeh, kita masuk kebagian serunya ya ^_^, bagian tools! Dari judulnya jurnal ini menggunakan neural networks, namun sebenarnya neural networks tersebut merupakan pengembangan dari model-model statistik seperti regresi logistik atau diskriminan analysis.

Apa sih Neural Networks? Neural networks adalah analisis jaringan antara variabel-variabel. Secara sederhana model hubungan antar variabel dalam statistik adalah Regresi. Namun dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data diskrit dan qualitative dimana setiap variable saling berhubungan satu sama lain, maka neural network digunakan untuk mengukur variabel yang mempengaruhi kesuksesan sebuah film.

Pertama-tama yang harus dilakukan adalah membuat hipotesa awal. Dalam hal ini kita membuat model neural networknya. Dengan melakukan penelitian awal dan diskusi terhadap para ahli maka diperoleh model berikut
Dari model tersebut terdapat 7 variabel yang akan mempengaruhi sebuah kesuksesan film. Kesuksesan tersebut dibagi menjadi 9 kelas (output).





Berikut variabel yang akan diukur:


Kemudian dilakukan observasi terhadap data-data setiap tahunnya selama 5 tahun untuk mengetahui bagimana nilai persentase dari variabel-variabel tersebut dalam mempengaruhi performance film. Kemudian dikelompokkan film mana masuk kelas mana. Kelompok tersebut dibentuk dalam sebuah matriks. Jika film tersebut diprediksikan akan masuk kelas "tidak laku" dan dari data menyatakan memang film tersebut "tidak laku" maka hal tersebut diistilahkan sebagai tepat (bingo). Jika tidak maka disebut setidaknya hampir mendekati tepat (1-away).

Dari data matriks selama 5 tahun (dapat dilihat di jurnal), kemudian dengan neural networks dan atau alat statistik yang lainnya diperoleh sebuah prediksi bingo dan 1-away, sebagai berikut:



Dari hasil di atas terlihat bahwa standar deviasi terhadap data 1-away yang paling kecil adalah dengan menggunakan Neural Networks. Artinya Neural Network merupakan alat yang paling tepat untuk memprediksikan kesuksesan suatu produk dalam bidang yang memiliki banyak faktor qualitative seperti sosial dan hiburan.

Setelah didapatkan model menggunakan neural networks selanjutnya dilakukan sensitivitas analisis. Gunanya untuk menilai apakah variable-variable tersebut secara mampu mempengaruhi kesuksesan sebuah film. Hasilnya ternyata hal yang paling mempengaruhi kesuksesan film adalah jumlah layar, efek visual teknologi, dan artis terkenal. Dimana model neural network tersebut dapat memprediksi sebesar 75% akan sukses masuk kelas tertentu sesuai perkiraan producer.

Sekian penjelasan mengenai penggunan analisis pada sebuah industri hiburan yang katanya tabu jika disandingkan dengan science ^_^..

Gimana seru kan? model tersebut juga bisa digunakan untuk industri musik, televisi dan lainnya. Tapi di Indonesia gimana? Variable apakah yang mempengaruhi kesuksesan film? Nah, itu belum pernah ada yang melakukannya. ^_^

Semoga tulisan ini mengispirasi para pembaca yang sedang melakukan penelitian skripsi atau thesis. Silahkan ditanyakan pada kami kalau ada yang kurang jelas dan ingin bantuan untuk mengejarkan analisis ini pada kasus Indonesia atau dimanapun, dengan senang hati kami akan membantu ^_^...

Kamis, 05 Mei 2011

Book Review: How to Lie with Statistics

How to Lie with Statistics, by Darrel Huff, should be required reading for everyone. The cachet of numbers are used all the time in modern society. Usually to end arguments–after all, who can argue with “facts”? Huff shows how the same set of numbers can be tweaked to show three different outcomes, depending on where you start and what you use. The fundamental lesson I learned from this book is that mathematical calculation involves a whole set of conditions, and any number derived from such a calculation is meaningless without understanding those conditions.
He also mentions that colleagues have told him that the flurry of meaningless statistics is due to incompetence–he dispatches this argument with a simple query: “Why, then, do the numbers almost always favor the person quoting them?” Huff also provides five questions (not unlike the five d’s of dodgeball) for readers to ask, when confronted with a statistic:
1. Who says so?
2. How does he know?
3. What’s missing?
4. Did somebody change the subject?
5. Does it make sense?
All this is wrapped up in a book with simple examples (no math beyond arithmetic, really) and quaint 1950s prose. In addition humor runs from the beginning (the dedication is “To my wife with good reason”) to the end (on page 135, Huff says “Almost anybody can claim to be first in something if he is not too particular what it is”). This book is well worth a couple hours of your time.

source: www.mooreds.com