Selasa, 19 November 2013

Cointegration Analysis

Hi all! Sashiburi.. Long time no post :)

This time I'm gonna explain briefly about cointegration analysis, which is very useful in many research. This method is kind of regression analysis but under nonstationary condition. Remember, when we regress for example 2 variables with each of them nonstationary, then what we will have is spurious regression, a regression that means nothing. Hence Professor Engle-Granger found out that, I heard both of them got Nobel prize for this, when 2 variables nonstationary but the residual of the regression is stationary then it means that those two variables are having long term equilibrium, or we call it cointegrated. For example in the PPP (Purchasing Power Parity) case. We regress 2 variables, exchange rate and inflation. No doubt that these two variables data set are nonstationary. Hence we can still make linear regression between those two and check the residual, is it stationary or not. You can test it by Dickey-Fuller test. If it's stationary then PPP holds, otherwise it is spurious regression. So if the residuals are stationary, what's the model? We then use the error correction model, regressing the stationary term of exchange rates and the stationary term of inflation rates and the error correction term, the lag 1 of residual. That's it! So no more worries of the nonstationarity..lol..:))

Jumat, 13 Juli 2012

Data Envelopment Analysis

Hi all, di cafe kali ini mungkin enak ya kalau kita bahas satu analisis yang bisa digunakan untuk memecahkan permasalahan yang datanya menggunakan pengukuran skala likert. Salah satu analisis yang sekarang lagi populer adalah Data Envelopment Analysis [DEA].

Beberapa sumber mengatakan bahwa DEA sebenarnya termasuk ke dalam analisis multivariat. Tetapi di buku-buku lainnya, mengatakan bahwa DEA sebenarnya hanya sebuah pengembangan dari linear programming. Well, dua-duanya benar :)
DEA adalah sebuah metoda pengembangan berdasarkan prinsip linear programming, yaitu metoda pemecahan masalah yang dibentuk kedalam sebuah model matematika tujuan, dimana dibatasi oleh beberapa konstrain. Atau bahasa lainnya sebuah permasalahan dengan batasan-batasan masalah yang lain (gimana bingung gak? :D). Pernah tahu mata kuliah aljabar linear atau teknik kuantitatif atau operasional riset? Ya intinya adalah itu semua, yang kemudian dikembangkan atau disesuaikan pada permasalahan yang lebih kompleks, misalnya pada variabel yang memiliki sifat multivariat. Artinya permasalahan tersebut harus diukur oleh beberapa variabel lainnya. Hanya saja, tidak seperti SEM atau analisis mulitvariat yang lainnya, metoda DEA dikhususkan kepada pencarian nilai efisiensi.

nilai efisiensi = (nilai ouput/input)

Dimana nilai efisiensi tersebut dibentuk kedalam sebuah model matematis tertentu sesuai dengan permasalhannya. Demikian pula nilai output dan nilai inputnya, merupakan model matematis yang biasanya terbentuk atas DMU (Decesion Making Unit) tertentu. Lalu bagaimana caranya menggunakan DEA? Tenang saja, ada software khusus yang dapat menyelesaikan masalah DEA, bahkan jika variabelnya tidak terlalu banyak perhitungan DEA dapat menggunakan Excel saja. Karena pada prinsipnya adalah linear programming solver. :)

Masih bingung? Oke, saya coba bahas dengan mereview sebuah jurnal menarik mengenai aplikasi DEA. Judul jurnalnya adalah "Measuring the efficiency of customer satisfaction and loyalty for mobile phone brands with DEA", ditulis oleh Erkan Bayraktar, 2012.

Bayraktar meneliti tingkat loyalitas dan kepuasan pelanggan terhadap beberapa merek telepon seluler. Langkah penelitiannya adalah sebagai berikut:
1. Membuat model antara input dan ouput permasalahan yang diteliti.


2. Mendaftarkan faktor/elemen-elemen yang termasuk kedalam setiap bagian faktor input dan output.

3. Membentuk model matematis dari model awal

4. Mengambil data, dengan cara menggunakan kuisioner dan pengukuran skala likert dan teknik survei standar.
5. Mengolah data menggunakan Lingo/Excel/DEA Solver atau lainnya
6. Melakukan analisis lanjutan seperti ranking kurskal wallis atau semacamnya (analisis lanjutan ini tidak harus dilakukan, biasanya dilakukan jika peneliti ingin mengetahui lebih lanjut kelayakan ranking dari pengaruh dari setiap faktor dengan menggunakan tes ranking apakah benar terdapat perbedaan ranking pada model).
7. Mengambil kesimpulan


Conclusion
These findings are also confirmed by the efficiency scores where Motorola and Nokia were ranked as the least efficient brands, respectively, as shown in Table 3. These findings might also be construed as such that the users of both brands tend to have some conflicting perceptions regarding their own mobile phones relative to the other brands. This study has important implications for practice. Without a doubt, the competition for greater market share is intensifying within the mobile phone industry in Turkey. A more focused approach to building up a novel competitive edge is vital for success (or mere survival) in this volatile market.


Gimana? Mau coba DEA untuk Tugas Akhir atau penelitian kelembagaan atau untuk riset client? kenapa tidak? ^_^...

sumber:
Bayraktar, Erkan. 2012. Measuring the efficiency of customer satisfaction and loyalty for mobile phone brands with DEA. Elsevier.

Cooper, William.  2000. Data Envelopment Analysis. London.



Senin, 18 Juni 2012

Analytical Hierarchy Process


Pemilihan Strategi – Proses Analisis Hirarki

Konsep AHP

AHP merupakan metode pengambilan keputusan dari suatu masalah multifaktor yang kompleks yang disusun menjadi suatu hirarki. AHP menggunakan proses dan aplikasi yang berbasis matematik untuk prioritas alternatif. Analisis AHP cocok digunakan pada permasalahan yang melibatkan kriteria-kriteria kualitatif yang sulit dikonversi ke dalam bentuk data kuantitatif. Pengukuran dilakukan melalui perbandingan berpasangan dan berdasarkan pada pendapat dari para ahli dalam perolehan skala prioritasnya.
Dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, ada tiga prinsip yang mendasari pemikiran AHP, yakni: prinsip menyusun hirarki, prinsip menetapkan prioritas, dan prinsip menentukan konsistensi logis.

2.5.2        Penyusunan Hierarki
AHP mewakili pemikiran alamiah yang cenderung mengelompokkan elemen sistem ke level-level yang berbeda dari masing-masing level berisi elemen yang serupa. Suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis.
Hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level. Level pertama dari suatu hirarki adalah tujuan/sasaran dari sistem yang akan dicari solusinya. Setelah menetapkan tujuan utama sebagai level teratas akan disusun level hirarki yang berada di bawahnya yaitu kriteria-kriteria yang cocok untuk mempertimbangkan atau menilai alternatif yang kita berikan dan menentukan alternatif tersebut. Tiap kriteria mempunyai intensitas yang berbeda-beda, dimana kriteria-kriteria yang terdapat pada level yang sama memiliki kepentingan yang hampir sama pula dan tidak memiliki perbedaan yang terlalu mencolok, jika perbedaan terlalu besar maka harus dibuatkan level yang baru. Hirarki dilanjutkan dengan subkriteria (jika mungkin diperlukan) dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif.

2.5.3        Menetapkan Prioritas
Prioritas dari kriteria-kriteria dapat dipandang sebagai bobot atau kontribusi kriteria tersebut terhadap tujuan pengambilan keputusan. AHP melakukan analitis prioritas kriteria dengan metode perbandingan berpasangan antar dua kriteria hingga semua kriteria yang ada tercakup. Prioritas ini ditentukan berdasarkan pandangan para pakar dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengambilan keputusan, baik secara langsung (diskusi) maupun tidak (kuesioner).
AHP menggunakan pairwise comparison matrix (matriks perbandingan berpasangan) untuk menghasilkan bobot relatif antar kriteria maupun alternatif. Suatu kriteria akan dibandingkan dengan kriteria lainnya dalam hal seberapa penting terhadap pencapaian tujuan di atasnya.
Nilai-nilai yang disarankan untuk membuat matriks perbandingan berpasangan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Skala Banding Berpasangan (PairwiseComparison Scale)
Tingkat Kepentingan
Definisi
Penjelasan
1
Kedua kriteria sama pentingnya (equal)
Kedua kriteria memberikan kontribusi yang sama
3
Kriteria yang satu sedikit lebih penting dibadingkan kriteria lainnya (moderat)
Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyukai/memihak kriteria satu dibanding yang lain

5
Kriteria yang satu esensial atau sangat penting dibanding kriteria lainnya (strong)
Pengalaman dan penilaian dengan dibanding yang lain kriteria satu menyukai / memihak
7
Kriteria yang satu jelas lebih penting dibanding kriteria lainnya (very strong)
Kriteria yang satu dengan kuat disukai dan dominasinya praktek tampak nyata dalam praktek

9
Kriteria yang satu mutlak lebih penting dibanding kriteria lainnya (extreme)
Bukti-bukti yang memihak kepada kriteria yang satu atas yang lain berada pada mungkin tertinggi yang tingkat persetujuan

2,4,6,8
Nilai-nilai tengah (intermediate) antara dua nilai yang berdekatan
Diperlukan kompromi antara dua pertimbangan

Resiprok
Apabila telah diberikan angka kepada kriteria i dibandingkan kriteria j, maka angka yang diberikan kepada kriteria j dibandingkan kriteria i adalah kebalikan (resiproknya)


Menentukan Konsistensi Logis
AHP mempertimbangkan konsistensi logis dalam penilaian yang digunakan untuk menentukan prioritas. Matriks perbandingan berpasangan disebut konsisten jika dua aturan berikut terpenuhi:
aij = aij .akj                      ... (1)
       aij =   1/aji                      ... (2)
          dimana i, j, dan k merupakan alternatif.
Pada matriks yang konsisten dengan sempurna, semua perbandingan aij adalah berdasarkan persamaan aij=pi /pj, dimana pi adalah prioritas dari alternatif i .

p1/p1
...
p1 /pj
...
p1 /pn
...
1
...
...
...
pi /p1
...
1
...
pi /pn
...
...
...
1
...
pn /p1
...
pn /pj
...
pn /pn




Manfaat AHP

Metoda AHP digunakan untuk dapat menimbulkan gagasan dalam melaksanakan suatu tindakan, dan untuk mengevaluasi keefektifan tindakan tersebut. Selain itu juga untuk membantu memecahkan suatu kondisi yang kompleks. Manfaat dari metoda ini adalah:
1.      Suatu cara praktis untuk menangaini secara kuantitatif bermacam hubungan fungsional dalam suatu jaringan yang kompleks.
2.      Suatu alat yang mampu memadukan pernecanaan ke depan (yang diproyeksikan) dan perencanaan ke belakang (yang diinginkan) dengan cara interaktid yang mencerminkan pertimbangan dari semua staf manajerial yang berkepentingan. Keluarannya adalah aturan-aturan yang eksplisit untuk mengalokasikan sumber daya di antara berbagai tawaran strategi yang sudah ada ataupun baru – atau untuk mencapai seperangkat sasaran perusahaan dari berbagai alternative skenario lingkungan.
3.      Suatu cara baru untuk:
-          Memadukan data keras dengan pertimbangan subyektif tentang faktor-faktor tanwujud
-          Memasukkan pertimbagnan bebearpa orang dan memecahkan konflik
-          Melakukan analisis sensistivitas dan revisi dengan biaya murah
-          Menggunakan prioritas marjinal maupun prioritas rata-rata untuk membimbing pengalokasian
-          Meningkatkan kemampuan manajemen untuk melakukan “perimbangan” secara eksplisit
4.      Suatu teknik yang melengkali berbagai teknik lain (manfaat/biaya), prioritas, meminimumkan resiko untuk memilih proyek atau aktivitas.
5.      Suatu pengganti tunggal untuk aneka ragam skema untuk memproyeksikan masa depan dan melindungi terhadap resiko dan ketidakpastian.
6.      Sarana untuk memantau dan membimbing prestasi organisasi ke arah seperangkat tujuan yang dinamis.

Langkah AHP

Pada dasarnya langkah-langkah melakukan pemilihan strategi dengan menggunakan AHP adalah sebagai berikut:
1.      Definisikan perosalan secara rinci berikut dengan pemecahan yang diinginkan
2.      Bentuk model hierarkri dari sudut pandang managerial menyeluruh (dari tingkat puncak hingga solusi praktis)
3.      Buatlah matris banding berpasangan dari setiap kriteria dan elemennya
4.      Memeriksa semua pertimbangan yang ada dalam matriks yang telah dibentuk. Jika terdapat dua pertimbangan yang sama, hitung saja rata-rata geometriknya
5.      Bentuk pertanyaan untuk membandingkan pertimbangan-pertimbangan tersebut kemudian cari datanya
6.      Lakukan 3 langkah sebelumnya pada setiap tingkat hierarkri
7.      Hitung vector prioritas, dimana vektor tersebut dihitung secara menyeluruh dari atas hingga bawah, sehingga vektor prioritas paling bawah adalah vektor prioritas menyeluruh. Jika ada beberapa buah vektor prioritas, hitung saja rata-rata aritmatiknya
8.      Evaluasi konsistensi untuk seluruh hierarkri
9.      Buat kesimpulan dari perhitungan tersebut.

Selasa, 21 Februari 2012

Menentukan Rentang Skala Likert

Sebetulnya, skala likert sudah pernah dibahas, tetapi kali ini saya coba bahas dari sisi lain dan mungkin dengan bahasa yang lebih sederhana. Beberapa hari terakhir, saya bergelut dengan skala likert. Semakin membaca beberapa metoda dan jurnal mengenai skala likert, semakin saya bertanya-tanya, bagaimanakah saya menentukan rentang skala likert yang sesuai dengan penelitian yang saya lakukan? Dari beberapa jurnal yang saya baca, kemudian saya dapat simpulkan sebagai berikut.

Pada dasarnya skala likert hanyalah sebuah alat. Diibaratkan seperti sebuah penggaris. Ketika kita ingin mengukur panjang sebuah meja kecil kita bisa menggunakan penggaris biasa, tetapi ketika kita ingin mengukur panjang jalanan, maka kita harus menggunakan meteran yang lebih panjang.

Untuk itu, pertama-tama kenali penelitian yang kita lakukan. Apakah penelitian tersebut mengukur preference atau mengukur kinerja? Seberapa detailkan pengukuran yang kita inginkan. Satu hal yang perlu diperhatikan, rentang skala likert harus memiliki nilai yang tepat kebalikan dengan nilai yang lain. Lebih mudahnya perhatikan contoh penelitian berikut:

1. Setuju vs Tidak Setuju
Ingin diketahui apakah masyarakat setuju akan suatu pernyataan. Contoh peryataannya adalah 'Pelebaran sungai diperlukan untuk mengatasi banjir'. Maka akan muncul kemunginkan pilihan sebagai berikut

a-  sangat tidak setuju     agak tidak setuju    agak setuju    sangat setuju
b- sangat tidak setuju     tidak setuju     ragu2        setuju        sangat setuju
c- sangat tdk setuju    tdk setuju     agak tdk setuju      agak setuju    setuju    sangat setuju

Dan seterusnya, kita bisa membuatnya menjadi 4, 5, 6, atau bahkan 7 pilihan. Tetapi mana yang terbaik? Yang terbaik adalah yang memiliki rentang paling banyak. Dengan kondisi setiap arti dari skala tersebut memiliki arti yang saling bertolak belakang dengan skala yang lain. Misalnya setuju vs tidak setuju, sangat tidak setuju vs sangat setuju, dst. Mengapa? Hal ini menghindari pilihan netral (ragu-ragu), kecuali jika anda ingin mengetahui apakah ada pihak netral. Misalkan untuk peryataan seperti berikut 'Pak Abdul layak menjadi Presiden 2014'.

2. Bagus vs Tidak Bagus
Ingin diketahui penilaian masyarakat tetang sebuah pernyataan atau kondisi. Misalkan mengenai pelayanan imigrasi. Contoh pernyataannya adalah 'Bagaimanakah pelayanan kantor imigrasi menurut anda?' Dengan demikian sudah tentu kita tidak menginginkan pilihan ragu-ragu atau netral atau nilai yang tidak memiliki pembanding, artinya sebaiknya kita menggunakan rentang skala berjumlah genap. Bisa 4, 6, atau 10 pilihan. Namun untuk penilaian semacam ini, yang lazim dikenal di masyarakat adalah nilai 1 sampai 10. Kesimpulannya untuk jenis skala semacam ini, sebaiknya gunakan rentang skala 10.

tidak bagus - 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 -bagus

3. Jangan keliru dengan frekuensi
Terkadang kita menggunakan skala frekuensi sebagai skala likert. Seperti pada pertanyaan berikut, 'Berapa sering anda ke perpustakaan?'

- tidak pernah,         Jarang,         kadang-kadang,        sering,        sangat sering

Jadi intinya, penentuan rentang skala likert adalah tergantung dari penelitian yang kita lakukan. Tidak ada dasar atau harga mati mengenai aturan penentuan rentang tersebut. Dalam praktiknya memang yang paling baik adalah rentang terbesar dan dengan jumlah genap. Dengan rentang yang besar, kita dapat melihat sebaran atau variasi dari jawaban responden. Namun kekurangannya adalah survey yang dilakukan agak sedikit lebih sulit, karena mengharuskan responden berpikir lebih keras dalam memilih pada rentang skala likert yang besar. Tetapi kembali lagi dari penelitian itu sendiri, seberapa pentingkah detail yang diinginkan dan bagaimana hasil yang ingin dicapai dari penelitian tersebut. Semoga tulisan ini membantu yah ;)

Disarikan dari:
Hall, Shane. 2010. “How to Use the Likert Scale in Statistical Analysis.”
Markusic, Mayflor. 2009. “Simplifying the Likert Scale.”
Trochim, William M.K. 2006. “Likert Scaling.” Research Methods Knowledge Based

Minggu, 12 Februari 2012

Penghitungan Angka Kemiskinan BPS vs Bank Dunia

Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi penanggulangan kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Pengukuran kemiskinan yang dapat dipercaya dapat menjadi instrumen tangguh bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada kondisi hidup orang miskin. Data kemiskinan yang baik dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki posisi mereka.

A. Tujuan
1. Mengetahui jumlah dan persentase penduduk miskin menurut daerah perkotaan dan pedesaan.
2. Mengetahui karakteristik rumahtangga miskin dan tidak miskin menurut daerah perkotaan dan pedesaan.
3. Mengetahui distribusi dan ketimpangan pendapatan secara nasional menurut daerah perkotaan dan pedesaan.
4. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
5. Pengukuran kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) tidak hanya digunakan oleh BPS tetapi juga oleh negara-negara lain, seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone, dan Gambia.

PENJELASAN DATA KEMISKINAN
Press Release BPS‐RI
Jakarta, 27 Januari 2011

Data Statistik Resmi (official statistics) adalah objektivitas universal. Seluruh dunia mengukur kinerja pembangunan dan eksistensi bangsanya melalui penggunaan indikator statistik yang memenuhi standar pengukuran yang disepakati secara internasional. Pekerjaan statistik selalu dikawal oleh Kode Etik Statistik PBB. Di Indonesia akhir‐akhir ini, di sebagian kalangan, cenderung mispersepsi dalam memahami angka statistik. Terkait data statistik kemiskinan misalnya kekeliruan dimaksud melebar ke mana‐mana.
Disadari bahwa salah satu aspek penting untuk mendukung Strategi Penanggulangan Kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Pengukuran kemiskinan yang dapat dipercaya dapat menjadi instrumen tangguh bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada kondisi hidup orang miskin. Data kemiskinan yang baik dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terhadap kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas hidup mereka.
Secara umum kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak‐hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. Definisi yang sangat luas ini menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan masalah multi dimensional, sehingga tidak mudah untuk mengukur kemiskinan dan
perlu kesepakatan pendekatan pengukuran yang dipakai. Untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia, BPS menyediakan 2 jenis data yaitu data kemiskinan makro dan mikro.
Data Kemiskinan Makro
Salah satu konsep penghitungan kemiskinan yang diaplikasikan di banyak negara termasuk Indonesia adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
Dengan konsep ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Dalam aplikasinya dihitunglah garis kemiskinan absolut. Penduduk yang memiliki rata‐rata pengeluaran/pendapatan per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin.
Penghitungan penduduk miskin dengan pendekatan makro didasarkan pada data sampel bukan data sensus, sehingga hasilnya adalah estimasi (perkiraan). Sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang pencacahannya dilakukan setiap bulan Maret dengan jumlah sampel 68.000 rumah tangga. BPS menyajikan data kemiskinan makro sejak tahun 1984 sehingga perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin bisa diikuti dari waktu ke waktu.
Data kemiskinan makro yang terakhir dihitung BPS adalah posisi Maret 2010 dan dirilis tanggal 1 Juli 2010. Jumlah dan persentase penduduk miskin dihitung per provinsi dengan garis kemiskinan yang berbeda‐beda. Di DKI Jakarta besaran garis kemiskinan mencapai Rp331.169 per kapita per bulan, sementara di Papua Rp259.128. Data di level nasional merupakan penjumlahan penduduk miskin di seluruh provinsi, sehingga jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta (13,33 persen dari total penduduk) dengan garis kemiskinan sebesar Rp211.726 per kapita per bulan. Pada bulan Maret 2011 BPS akan kembali melakukan pengumpulan data Susenas dan hasil penghitungan penduduk miskin akan dirilis tanggal 1 Juli 2011.
Salah satu data kemiskinan yang mengundang polemik panjang adalah data kemiskinan bulan Maret 2006.
BPS mengumumkan jumlah penduduk miskin naik dari 35,1 juta (16,0%) pada Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,8%) pada Maret 2006 karena kenaikan harga BBM.

Data Kemiskinan Mikro
Data kemiskinan makro hanya menunjukkan jumlah dan persentase penduduk miskin di setiap daerah berdasarkan estimasi. Data ini berguna untuk perencanaan dan evaluasi program kemiskinan dengan target geografis namun tidak dapat menunjukkan siapa dan dimana alamat
penduduk miskin (sasaran) sehingga tidak operasional untuk program penyaluran bantuan langsung dan perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT), raskin, dan Jamkesmas.
Untuk penyaluran bantuan langsung yang memerlukan nama dan alamat target dibutuhkan data kemiskinan mikro. Pengumpulan datanya harus dilakukan secara sensus, bukan sampel. Berbeda dengan metode penghitungan kemiskinan makro yang menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, pengumpulan data kemiskinan mikro didasarkan pada
ciri‐ciri rumah tangga miskin supaya pendataan bisa dilakukan secara cepat dan hemat biaya.
Upaya pengumpulan data kemiskinan mikro ini telah dilakukan BPS dua kali yaitu pada bulan Oktober 2005 dan September 2008. Data yang diperoleh disebut data Rumah Tangga Sasaran (RTS), yang mencakup bukan hanya rumah tangga (RT) miskin, tetapi juga RT hampir miskin, yaitu RT yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan. Jumlah RTS hasil pendataan bulan September 2008 adalah 17,5 juta rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga sebesar 60,4 juta jiwa. Namun, sebagian besar publik menggunakan angka 70 juta jiwa, dengan mengasumsikan besarnya rata‐rata anggota rumah tangga adalah 4 orang.
Jadi, sebetulnya tidak ada dua angka kemiskinan. Data 31,02 juta menunjukkan data penduduk miskin (pendekatan makro), sementara data 60,4 juta jiwa menunjukkan data individu penduduk miskin plus hampir miskin (pendekatan mikro). Selisih di antara keduanya menunjukkan besarnya penduduk hampir miskin di Indonesia. Mereka tidak tergolong miskin tetapi sangat rentan terhadap kemiskinan. Perlu kehati‐hatian dalam membandingkan kedua data kemiskinan tersebut karena metode penghitungan dan tujuan penggunaannya memang berbeda.

B. Pengukuran Kemiskinan World Bank
World Bank membuat garis kemiskinan absolut US$ 1 dan US$ 2 PPP (purchasing power parity/paritas daya beli) per hari (bukan nilai tukar US$ resmi) dengan tujuan untuk membandingkan angka kemiskinan antar negara/wilayah dan perkembangannya menurut waktu untuk menilai kemajuan yang dicapai dalam memerangi kemiskinan di tingkat global /internasional.
Angka konversi PPP adalah banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli sebesar US$ 1 di Amerika Serikat. Angka konversi ini dihitung berdasarkan harga dan kuantitas di masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survei yang biasanya dilakukan setiap lima tahun.
Chen dan Ravallion (2001) membuat suatu penyesuaian angka kemiskinan dunia dengan menggunakan garis kemiskinan US$ 1 perhari. Berdasarkan penghitungan yang dilakukan, pada tahun 1993 garis kemiskinan US$ 1 PPP per hari adalah ekuivalen dengan Rp. 20.811,- per bulan.
Garis kemiskinan PPP disesuaikan antar waktu dengan angka inflasi relatif, yaitu menggunakan angka indeks harga konsumen. Pada tahun 2006, garis kemiskinan US$ 1 PPP ekuivalen dengan RP.97.218,- per orang per bulan dan garis kemiskinan US$ 2 PPP ekuivalen dengan RP.194.439,- per orang per bulan. Perbandingan garis kemiskinan dan persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 2006 menurut BPS dan World Bank adalah sebagai berikut:
Garis Kemiskinan dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 2006
Sumber Garis Kemiskinan (Per Hari) Garis Kemiskinan (Per Bulan) Penduduk Miskin (%)
BPS Rp. 5.066,57,-
≈ US$ 1,55 PPP
Rp. 151.997,- 17,80
World Bank USS 1 PPP
≈ Rp. 3.240,60,-
Rp. 97.218,- 7,40
USS 2 PPP
≈ Rp. 6.841,30,-
Rp. 194.439,- 49,00
Bank Dunia memprediksi jumlah penduduk Indonesi berpendapatan di bawah US$2 PPP per orang per hari pada tahun 2008 akan turun 4,6 juta orang dari 105,3 juta orang (45,2 persen) menjadi 100,7 juta orang (42,6 persen). Perhitungan itu dilakukan dengan menggunakan jumlah penduduk 232,9 juta orang pada tahun 2007 dan 236,4 juta orang pada tahun 2008. Perkiraan tersebut dibuat dengan memperhitungkan laju inflasi sekitar 6 persen, dampak kenaikan harga minyak dunia saat ini (sekitar US$94 per barel), dan tercapainya pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan sebesar 6,4 persen.
C. Metodologi dan Perhitungan Kemiskinan BPS
1. Sumber Data
Sumber data utama yang dipakai adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Sebagai informasi tambahan, digunakan hasil survei SKPD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar) yang digunakan untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok non makanan.
2. Metode
Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan (GK) yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM), sebagai berikut:
GK = GKM + GKNM
Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan pedesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
Garis kemiskinan makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori perkapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Ke-52 jenis komoditi ini merupakan komoditi-komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh penduduk miskin. Jumlah pengeluaran untuk 52 komoditi ini sekitar 70 persen dari total pengeluaran orang miskin.
Garis kemiskinan non-makanan (GKNM) adalah kebutuhabn minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
3. Teknik Penghitungan Garis Kemiskinan
Tahap pertama adalah menentukan penduduk referensi, yaitu 20 persen penduduk yang berada di atas Garis Kemiskinan Sementara, yaitu garis kemiskinan periode lalu yang di-inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
Garis Kemiskinan Makanan adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumdi penduduk referensi dan kemudian disetarakan dengan nilai energi 2.100 kilokalori perkapita per hari. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Selanjutnya GKM tersebut disetarakan dengan 2.100 kilokalori dengan cara mengalikan 2.100 terhadap harga implisit rata-rata kalori.
Garis Kemiskinan Non-Makanan merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi non-makanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Nilai kebutuhan minimum per komoditi/sub-kelompok non-makanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi /sub-kelompok tersebut terhadap total pengeluaran komoditi/sub-kelompok yang tercatat dalan data Susenas modul konsumsi. Rasio tersebut dihitung dari hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar 2004 (SPKKD 2004), yang dilakukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumahtangga per komoditi non-makanan yang lebih rinci dibandingkan data Susenas modul konsumsi.
Garis Kemiskinan merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan dan Garis Kemiskinan Non-Makanan. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
4. Indikator Kemiskinan
Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar, ada 3 indikator kemiskinan yang digunakan. Pertama, Head Count Index (HCI-P0), yaitu persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (GK).
Kedua, Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) yang merupakan rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
Ketiga, Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index- P2) yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
5. Ketersediaan Data
Badan Pusat Statistik (BPS) pertama kali melakukan penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pada tahun 1984. Pada saat itu, penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin mencakup periode 1976-1981 dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) modul konsumsi. Sejak itu, setiap tiga tahun sekali BPS secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase penduduk miskin yang disajikan menurut daerah perkotaan dan pedesaan. Sejak tahun 2003, BPS secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase penduduk miskin setiap tahun. Hal tersebut bisa terwujud karena sejak tahun 2003 BPS mengumpulkan data Susenas Panel Modul Konsumsi setiap bulan Februari atau Maret.
Data kemiskinan yang diproduksi BPS diterbitkan secara tahunan dalam publikasi yang berjudul ” Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan”.
D. Data Kemiskinan Mikro Untuk Operasional Bantuan Langsung Tunai (BLT)

Data kemiskinan hasil Susenas merupakan data kemiskinan yang bersifat makro (agregasi nasional, provinsi, dan kabupaten/kota). Data ini hanya menunjukkan jumlah dan persentase penduduk miskin di setiap daerah berdasarkan estimasi, tetapi tidak dapat menunjukkan siapa si miskin dan di mana alamat mereka, sehingga tidak operasional di lapangan. Untuk target sasaran keluarga/rumah tangga secara langsung sangat diperlukan data anggota keluarga/rumah tangga miskin dan lokasi tempat tinggal mereka. Upaya penyediaan data kemiskinan mikro ini dilakukan BPS dengan melaksanakan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05) yang pada dasarnya adalah pendataan keluarga/RTS untuk penyaluran dana BLT tahun 2005/2006.
Hasil PSE05 adalah direktori RTS yang memuat informasi nama kepala rumah tangga dan lokasi tempat tinggalnya. RTS hasil PSE05 ini mencakup (dikelompokkan ke dalam) tiga kategori, yaitu sangat miskin, miskin, dan mendekati miskin. Berbeda dengan metode penghitungan kemiskinan makro yang menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach), penentuan RTS PSE05 didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga/ ciri-ciri rumah tangga miskin.
Ada 14 variabel/karakteristik rumah tangga yang dipakai untuk menghitung Indeks Skor RTS. Keempat belas variabel tersebut adalah luas lantai perkapita, jenis lantai, jenis dinding, fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumber penerangan, bahan bakar, membeli daging/ayam/susu, frekuensi makan, membeli pakaian baru, kemampuan berobat, lapangan usaha kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, dan aset yang dimiliki rumah tangga.
Angka kemiskinan makro yang dihitung dari Susenas secara statistik seharusnya terbanding dengan data RTS kategori miskin dan sangat miskin hasil PSE05. Dari perbandingan kedua set data tersebut dengan menggunakan model regresi logistik diperoleh hasil dengan tingkat kesesuaian (concordant) berkisar antara 80–90 persen. Hal ini berarti ada ketidaksesuaian antara data kemiskinan mikro PSE05 dan data kemiskinan makro Susenas yang berkisar antara 10–20 persen. Jumlah rumah tangga miskin dan sangat miskin hasil PSE05 sekitar 12,2 juta. Jika diasumsikan rata-rata anggota rumah tangga sebesar 4 orang dan dikombinasikan dengan angka koreksi 10–20 persen, maka jumlah penduduk miskin dan sangat miskin hasil PSE05 diperkirakan antara 39,04 juta dan 43,92 juta.
Dibandingkan dengan angka kemiskinan makro di Indonesia pada Maret 2006 sebesar 39,30 juta mengindikasikan adanya konsistensi antara hasil PSE05 dan penghitungan dari Susenas. Akan tetapi perlu kehati-hatian dalam membandingkan kedua data tersebut karena metode penghitungannya didasarkan pada pendekatan yang berbeda. Data PSE05 akan di-update melalui Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2008 mulai bulan September 2008 dalam rangka penyiapan database RTS untuk memenuhi kebutuhan data berbagai program perlindungan mulai tahun 200
sumber: http://mamujukab.bps.go.id/index.php/blokberita/159-kemiskinan

Kamis, 02 Februari 2012

Prinsip mendasar Multivariat


  • Kenapa dalam mengestimasi harus dilakukan optimasi (MLE)?
    • Salah satu jawabannya adalah minimize error (misal regresi kita mengestimasi persamaan regresi dengan cara mencari garis regresi yang memiliki eror terkecil artinya jarak dari data ke estimasinya paling kecil)
    • Secara math optimasi ada dua nesesari optimize dan secara kondisi. Pertama syaratnya optimasi adalah turunan pertamanya = nol. Turunan pertamanya adalah gradient = nol dan ini adalah syarat nesesarinya, sementara syarat secara kondisinya adalah ketika turunan berikutnya adalah negatif (untuk memax) dan positif (untuk memin). Ilustrasinya adalah grafik kurva ke atas atau kebawah (sin cos, misalnya)
    • Mirip prinsipnya dengan least square error (tapi LSE lebih spesifik)
  • Wilks lamda untuk varians.
  • Missing data ada dua, satu yang sistematic ada yang random. Dan kalau diperbolehkan milih, maka mising data yang paling aman terjadi pada penelitian kita adalah missing data yang random. Karena kalau kita mising datanya sistematik maka kita bisa melihat adanya suatu fungsi pada data kita dan itu berarti ada kesalahan yang terjadi oleh si peneliti sehingga menghasilkan data yang missing secara sistematik.
  • Maka kalau data hilangnya sistematik maka kita harus mengulang penelitian atau survey. Tapi kalau mising valuenya random maka bisa diestimasi dengan misal rata-rata data yang ada, atau nilai regresi data yang ada, atau dll. Atau bisa juga mendelete variable atau pertanyaan yang banyak missingnya.
  • Outlier. Kalau sampai ada outlier jangan buru-buru datanya dibuang. Karena semua data sangat bernilai. Karena outlier itu sama dengan missing value karena terjadi bisa karena kesalahan kita atau memang sampelnya yang demikian.
  • Outlier bisa terjadi karena salah ambil sampel. Misalnya ketika lagi ujian, maka ketika ada outlier yang nilainya bagus tetapi karena memang mahasiswa itu adalah expert dibidang itu maka hal tersebut adalah prosedural.

Minggu, 01 Januari 2012

Reaction Paper: Statistical thinking and its role for industrial engineers and managers in the 21st century

Article entitled ‘Statistical thinking and its role for industrial engineers and managers in the 21st century’ written by Miltiadis Makrymichalos as a managerial audit journal is a very relevant article to the present situation. Nowadays, most of the managers do not use a statistical way of thinking in making decisions. Despite that many managers use six sigma to improve their business processes, they did not think statistically. I think the statistic is not just a tool, but it was also a basic principle about how to think logically and systematically.

The managers only use statistics as a tool when they encounter a problem which is related to data. In my opinion, the managers did not use the statistical thinking because of the difficulty in understanding the statistics principles. Furthermore, they have variety in educational backgrounds. Once they have found an issue or a problem, they will solve it according to their past experience and their knowledge. But when they did meet a problem that generates lot of numerical data, they used the statistics method.

According to the article, make decisions with statistical thinking means that the managers have to think the problem as a system as it is explained in the article that ‘All work is a system of interconnected processes'. The managers have to be able to see the variety of any situations and outcomes in any system. Therefore they will be able to analyze or even predict the upcoming situations and outcome of a problem.

For example, if we use six sigma we can solve the problem systematically. In the real situation, the managers only use six sigma or other tools as a means to repair. But they did not understand the basic principle or the essence of the six sigma method. In a research and development of the manufacturing, most of managers and engineers are focus on clients more than their own organization. Furthermore, the managers are also use the practical data to solve the problem. This way of thinking will led to an ineffective decision. The statistical thinking will first lead the managers to see the symptoms and any variation on a business process problem first. Statistical Thinking and its principles are not difficult and does not actually need to be profound. But it must be known by the managers. Therefore, when they using tools such as QFD, DOE, Six Sigma, and Pareto charts they will be able to predict where the outcome has risen.

In conclusion, I feel devastated because of many managers and engineers are ignoring the statistical thinking. But luckily, this paper summarizes the circumstances that existed at the moment. Not just as a warning, this topic can be a wakeup call to many managers that statistics is not just a daunting and meticulous method, but can be a useful way of thinking to the business in any industry.